Oleh: Akmal Khafifudin
Banyak kalangan yang mengenal sosok KH. Achmad Hasan Siddiq atau Kiai Achmad Siddiq sebagai ulama sufi penyelenggara majelis semaan Al – Qur’an dan wirid Dzikrul Ghofilin yang dirintisnya bersama Gus Miek (KH. Chamim Djazuli) serta dikenal sebagai ulama penerima azas tunggal Pancasila guna menjadi landasan utama dalam berorganisasi era Orba. Namun kali ini penulis akan menyuguhkan sisi lain dari Kiai Achmad Siddiq yang makamnya berada di Pesarean Auliya’ Tambak, Kediri tak jauh dari makam Gus Miek.
Sebagai putra ke 16 dari pasangan KH. Muhammad Siddiq dan Nyai Hj. Zakiyah atau dikenal Nyai Maryam, Kiai Achmad Siddiq menghadapi berbagai cobaan dalam hidupnya yang kemudian tempaan tersebut menjadikan beliau pribadi tahan banting. Di usianya 2 tahun, ibunya berpulang ke rahmatullah seusai menunaikan ibadah haji ketika berada di Laut Merah. Tujuh tahun kemudian ayahnya menyusul berpulang ke rahmatullah.
Oleh: Akmal Khafifudin
Banyak kalangan yang mengenal sosok KH. Achmad Hasan Siddiq atau Kiai Achmad Siddiq sebagai ulama sufi penyelenggara majelis semaan Al – Qur’an dan wirid Dzikrul Ghofilin yang dirintisnya bersama Gus Miek (KH. Chamim Djazuli) serta dikenal sebagai ulama penerima azas tunggal Pancasila guna menjadi landasan utama dalam berorganisasi era Orba. Namun kali ini penulis akan menyuguhkan sisi lain dari Kiai Achmad Siddiq yang makamnya berada di Pesarean Auliya’ Tambak, Kediri tak jauh dari makam Gus Miek.
Sebagai putra ke 16 dari pasangan KH. Muhammad Siddiq dan Nyai Hj. Zakiyah atau dikenal Nyai Maryam, Kiai Achmad Siddiq menghadapi berbagai cobaan dalam hidupnya yang kemudian tempaan tersebut menjadikan beliau pribadi tahan banting. Di usianya 2 tahun, ibunya berpulang ke rahmatullah seusai menunaikan ibadah haji ketika berada di Laut Merah. Tujuh tahun kemudian ayahnya menyusul berpulang ke rahmatullah.
1. Kitab Fath Al-Rahman, judul kitab ini hampir sama dengan manuskrip kitab milik abahnya yang memuat tentang aqidah, fiqih ringkas, dan fasholatan. Akan tetapi dalam kitab yang dikarang beliau ini fokus kajian pembahasannya lebih ke permasalahan tajwid al-Qur’an. Tidak ada keterangan yang pasti kitab ini mulai ditulis kapan dan selesai ditulis kapan oleh percetakan Salim Nabhan. Tentunya pemilihan fokus pembahasan tersebut karena kegemaran beliau membaca Al-Qur’an.
2. Riwayat Singkat Hadratus Syaikh Simbah KH. Ma’shum Ahmad Rahimahumullah, buletin karya beliau ini secara fisiknya belum penulis dapati wujud aslinya. Tapi oleh Almarhum Kiai Luthfi Thomafi, buletin ini dimasukkan dalam daftar pustaka penulisan biografi Mbah Ma’shum Lasem dan ditulis dalam bentuk bahasa Jawa menurut penuturnya.
3. Islam, Pancasila, dan Ukhuwah Islamiah, buku terbitan LTNNU (Lajnah Ta’lif wa Nasyr) ini merupakan hasil wawancara Dr. Fahmi Saifuddin dengan KH. Achmad Siddiq pada tanggal 25 November 1985 yang memuat tentang garis-garis besar Islam dan Indonesia, hubungan Pancasila dan Islam, serta pengembangan ukhuwah Islamiyah dan Integrasi Nasional.
4. Pemikiran KH. Achmad Siddiq, sebuah kumpulan makalah beliau yang disunting oleh Abu Nahid oleh Majalah AULA pada tahun 1992. Buku ini memuat tentang aqidah, syari’ah, dan tasawuf, serta khittah NU 1926, hubungan agama dengan Pancasila, negara RI bentuk final, watak sosial Ahlusunnah Wal Jama’ah, serta tentang seni dan agama.
5. Majmu’ah al-Aurad fi al-Ma’had al-Islami as-Shiddiqi. Sebuah kitab cetakan tanggal 1 Muharram 1412 H yang memuat tentang bacaan wirid santri Pesantren Talangsari, Jember dan sholawat.
Dari beberapa karya tersebut tentunya ada beberapa tokoh penting yang mewarnai corak pemikiran beliau yang progresif, selain karena jasa kakaknya, KH. Mahfudz Siddiq.
Kepiawaiannya dalam dunia kepenulisan juga terinspirasi dari gurunya, yaitu KH. Abdul Wahid Hasyim yang kala itu, Kiai Achmad Siddiq dijadikan sebagai sekretaris pribadi ayah Gus Dur ketika masih nyantri di Tebuireng.
Dikarenakan mewarisi hal-hal yang berbau modern dari kakaknya, KH. Mahfudz Siddiq dan gurunya, KH. Abdul Wahid Hasyim. Maka tidak mengherankan jika KH. Achmad Siddiq terpilih sebagai Rais Aam PBNU dan berduet dengan putra gurunya, yaitu KH. Abdurrahman Wahid pada helatan Muktamar NU di Ponpes Salafiyah Syafi’iyyah Sukorejo, Situbondo tahun 1984.
Di tengah padatnya kegiatan yang menguras pikiran dan tenaga, KH. Achmad Siddiq juga menikmati waktunya dengan mendengarkan ragam kesenian musik, seperti lagu yang dibawakan oleh penyanyi Mesir legendaris Ummi Kultsum, hingga penyanyi lokal Euis Darliah.
Bahkan genre musik rock juga Kiai Achmad Siddiq gandrungi, misalnya lagu dari Michael Jackson, lagu dari group smoke dan magnetic field IV. Kiai Achmad Siddiq sendiri pernah berujar tentang seni dan musik, “Manusia itu memiliki rasa keindahan, dan seni merupakan salah satu jenis kegiatan manusia (yang) tidak dapat dilepaskan pengaturan dan penilaian agama (Islam). Oleh karenanya, seni hendaknya ditingkatkan mutunya”.
Dari tingginya minat literasi dan karya tulis Kiai Achmad Siddiq yang telah penulis paparkan sebelumnya, sebenarnya masih banyak karya Kiai Achmad Siddiq yang belum tereksplor dengan baik di kediamannya.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh istri beliau, alm. Nyai Nihayah Achmad kepada KH. Muchit Muzadi yang diberi amanah mengurusi naskah-naskah karya Kiai Achmad Siddiq yang masih berbentuk makhtutot (manuskrip), serta beberapa buletin, dan lembaran makalah yang disampaikan beliau dalam acara forum tak resmi yang belum pernah dibukukan.
Namun karena kala itu, Almarhum Kiai Muchit Muzadi masih disibukkan berbagai aktifitas dan faktor usia. Maka beliau tidak menyanggupi untuk melestarikan karya-karya Kiai Achmad Siddiq yang belum pernah dipublikasikan kepada masyarakat umum. Dari sinilah penulis berharap semoga generasi nahdliyyin kedepan agar lebih lebih peduli merawat hasil pemikiran para ulama’ kita dan tidak melulu disibukkan dengan kegiatan organisatoris saja. Wallahu A’lam Bishowwab..